I’m not a mother (yet)

Tanggal 22 Desember kemarin seharusnya aku mulai kedatangan tamu bulanan, tapi sampai tanggal 27 Desember masih juga “Si Tamu” belum kelihatan tanda-tanda kedatangannya. Antara deg-degan senang kalau ternyata dalam sembilan bulan kedepan aku akan jadi seorang Mommy, tapi di sisi lain aku juga takut bahwa aku hanya telat biasa (walaupun telatnya sampai lima hari) yang disebabkan oleh pil KB yang aku minum dua minggu sebelum menikah. Ya, kali itu aku dan suami terlalu takut untuk langsung punya anak, karena kami berdua sama-sama masih berjuang dengan sekolah kami masing-masing. Disamping itu, suami juga masih dalam tahap penyembuhan dari sakit TBC Tulang yang dideritanya, yang pengobatannya baru akan berhenti total bulan Juni tahun 2017 nanti. Kami terlalu takut dengan semua hal-hal tersebut sampai melupakan Sang Maha Pengatur segalanya.

Pada masa awal-awal aku meminum pil KB, aku mengalami pendarahan yang lamanya sampai 40 hari yang menjadikan suami aku menjadi laki-laki tersabar yang pernah aku temui. Disaat pengantin baru disibukan dengan bercandaan-bercandaan mengenai malam pertama, dia harus bersabar menemani aku di kamar hotel yang merasa lemas dan pusing karena pendarahan yang tidak juga kunjung berhenti. Sehari setelah menikah kami pergi ke Pangandaran, hanya untuk makan seafood dan tumis kangkung, selebihnya kami habiskan dengan ngobrol-ngobrol dan tidur dengan saling berpegangan tangan. Sampai akhirnya kami kembali ke Jerman, aku masih juga mengalami pendarahan yang menjadikan suami setiap hari membujuk aku untuk pergi ke rumah sakit karena aku sering keliahatan merasa kelelahan dan tertidur di atas sofa di rumah kontrakan baru kami, di antara tumpukan barang-barang yang masih berserakan.

Hal tersebutlah yang menjadikan suami melarang aku untuk meminum pil KB lagi. Entah akan langsung punya anak atau tidak, yang jelas kami mulai memasrahkan segala urusan kepada Sang Maha Tahu, Dialah yang maha tahu segala yang baik untuk kami. Makanya disaat aku telat sampai lima hari, aku merasa deg-degan apakah kami benar-benar akan menjadi orang tua di penghujung tahun depan. Ternyata pada tanggal 27 Desember sore harinya “Si Tamu” datang juga. Aku sempat berpikir bahwa darah yang keluar adalah darah yang keluar pada saat masa pembuahan karena warnanya merah muda. Ternyata keesokan harinya darah tersebut keluar semakin banyak dan berwarna agak kecoklatan. Tes kehamilan juga menunjukan garis satu, yang menjadi tanda bahwa aku tidak hamil.

20161228_123616

Keesokan paginya sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku langsung  memeluk suami yang masih ngantuk-ngantuk, sambil sesenggukan meminta suami untuk bangun solat subuh. Solatnya sendiri karena ternyata aku sedang nggak solat. Dia memeluk aku saat itu yang menangis sesenggukan dan memintaku untuk bersabar. Iya, seharusnya aku bersabar dan nggak boleh terlalu bersedih. Aku harusnya tetap bersyukur karena aku masih diberi waktu untuk melayani suami lebih baik lagi, masih bisa pacaran dan mengenal dia lebih baik lagi 🙂

Hamil itu Bukan Perlombaan

Beberapa hari yang lalu aku mendapat telepon dari keluargaku di Indonesia, tepat satu hari sebelum pernikahan adik. Aku senang bisa ngobrol dengan keluarga yang ada disana, karena lain dengan suamiku yang bisa kapan aja menghubungi keluarganya entah itu lewat Line, WhatsApp maupun Skype, keluargaku agak-agak ketinggalan zaman. Mama yang gak pernah ingin punya smartphone karena gak bisa makenya, bapak yang ga pernah bisa buka sms, ibu yang jarang megang hp walaupun cuma ibu yang bisa pakai smartphone di antara orang tuaku yang lainnya tapi tetap aja ibu gak tahu gimana caranya isi kuota.

Percakapan di telepon kali itu gak jauh-jauh mengenai seputar pernikahan yang akan berlangsung keesokan harinya. Terlalu banyak yang ingin aku tanyakan tapi sayangnya adikku waktu itu sibuk sampai akhirnya aku berbicara dengan salah seorang anggota keluargaku yang lain. Beliau bertanya “Gimana kabarnya? Udah isi belum?”, aku yang saat itu lagi nyuci piring spontan menjawab “Alhamdulillah. Belum”. Alhamdulillah untuk pertanyaan “Gimana kabarnya?” dan belum untuk pertanyaan yang satunya. Tapi respon dari seberang sana cukup membuat aku kaget. “Yee, belum isi kok alhamdulillah? Teu bisaeun ah*”.

Aku langsung nyengir-nyengir gak jelas saat itu. Untungnya itu cuma telepon biasa, bukan video call, seandainya itu video call pasti lawan bicara aku saat itu bakal ngeliat jelas ekspresi wajah aku yang kebingungan. Iya, bingung, kenapa harus ada kalimat “teu bisaeun”, seolah-olah siapa yang hamilnya cepat berarti mereka handal dalam membuat anak. Aku sudah bosan dengan respon masyarakat Indonesia yang seolah-olah sesuatu yang waktunya lama itu tampak seperti ketidakcakapan. “Kok belum nikah? Gak kepengen apa?”, “Kok belum hamil-hamil? Bilang suaminya, yang jago gitu” dan komentar-komentar lain sebagainya. WTF, padahal jodoh dan anak itu merupakan pemberian Tuhan yang ga pernah kita tahu kapan datangnya. Kita sebagai manusia cuma bisa bersabar, berdoa dan ga pernah berhenti buat berusaha.

Ngomong-ngomong, mulai dari akhir minggu lalu aku ngerasa perut aku sakit banget, rasanya kayak tegang, kram, kayak yang ditarik ke samping. Selain itu bagian panggul juga sakit, pegel kayak sakit kalau mau dapet tamu bulanan. Kepala pusing minta ampun, badan lemes terus bawaannyaa, rasanya kayak pengen sendawa terus tapi yang keluar malah muntah, mual-mual dan ga kepengen banyak makan makanan berat. Selang-seling badan rasanya kayak anget, kayak demam, tapi cuma sementara, dada juga sakit. Kenapa ya?

Suami bilang itu tanda-tanda kehamilan, semoga aja iya, aamiin. Tapi aku takutnya badan aku jadi begini karena aku berenti minum pil KB dan terjadi perubahan hormon. Bismillah, tanggal 20 Desember aku mau ke dokter kandungan untuk kontrol rutin sekalin mau ngebahas mengenai laparoskopie, apa aku masih tetep harus menjalankan prosedur itu atau ga. Semoga aja di perut aku emang udah ada si ciliknya, aamiin.

 

*Teu bisaeun: Gak jago, gak cakap, gak handal dalam melakukan sesuatu.

Berteman dengan endometriosis

Setiap kali aku kedatangan tamu bulanan, disamping waktu datangnya yang ga pernah teratur rasanya juga selalu sakit, panas, kram perut, mual dan muntah hingga nggak sadarkan diri udah pernah aku alamin. Mulai dari yang keluarnya banyak banget sampe bikin keleyengan atau cuma satu dua tetes yang waktu kunjungannya cuma tiga sampai empat hari lalu pergi. Aku pikir hal itu wajar-wajar aja karena hormon setiap orang yang berbeda-beda, tapi katanya untuk perempuan seusiaku (waktu itu aku masih 20 tahun) hal itu udah ga normal lagi, karena biasanya lewat umur 17 tahun siklus bulanan itu sudah mulai teratur dan jelas paternnya. Berbekal ‘katanya’ dan kali itu juga aku sering mengeluh sakit perut yang ga kunjung sembuh, berangkatlah aku ke rumah sakit Al Ihsan diantar oleh pacarku (sekarang udah jadi sang mantan) karena kebetulan kakaknya kerja sebagai perawat disana.

Setelah melalui serangkaian tes, akhirnya dokter yang menanganiku saat itu kalau ga salah namanya adalah Dr. Arif, mengatakan bahwa aku memiliki sejenis myoma atau orang Indonesia lazim menyebutnya dengan miom atau kista. Hanya saja miom yang ada di perut aku ini ga bisa dioperasi karena ini bukan ‘daging jadi’ melainkan seperti luka pada dinding rahim yang diakibatkan siklus haid yang tidak lancar sehingga darah yang keluar masih ‘tersisa’ di dalam rahim, dokter Arif bilang namanya endometriosis.

Sesampainya di rumah aku langsung online dan mencari tahu apa itu endometriosis. Ternyata penjelasannya ga jauh beda dengan yang dokter Arif bilang, bahwa endometriosis itu adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang ada di dalam rahim tumbuh di bagian luar rahim. Biasanya perempuan yang memiliki endometriosis sering merasakan sakit di bagian pelvic dan efek lainnya yang lebih dikhawatirkan lagi yaitu kemandulan. Astagfirullah, cobaan apa yang harus aku jalani, diberi ujian seperti itu, yang bahkan kuliah aja aku belum selesai, mikirin untuk nikah juga belum tapi diberi sakit yang salah satu obatnya yaitu ‘katanya’ dengan melahirkan anak, tapi melahirkan gimana orang kemungkinan untuk hamil aja sulit. Mulai dari saat itu aku rutin terapi hormon, ditahan untuk ga mens selama beberapa bulan dengan harapan disaat darahnya keluar semuanya akan keluar dengan tuntas. Tapi yang ada malah aku jadi sering mendapati gumpalan daging sepanjang 2-3 cm yang keluar bersamaan dengan darah haid, astagfirullah.

Aku merahasiakan dari keluargaku kalau aku memiliki endometriosis, karena mereka pasti akan histeris, khususnya mama. Saat aku berangkat ke Jerman, September 2012, aku masih merahasiakan sakitku ini dari semua anggota keluargaku. Kebayang kalau mereka tahu, pasti aku ga akan dibolehin untuk pergi ke Jerman.

Karena rasa sakit yang aku alami semakin parah, akhirnya tahun 2015 aku datang ke salah satu dokter kandungan di Tasikmalaya, bermaksud untuk mengetahui sebenernya apa sih endometriosis itu sekaligus untuk berkonsultasi akan efeknya nanti. Sayangnya, dokter yang kali itu aku datangi ternyata ga begitu enak untuk diajak berkonsultasi. Menurutku beliau agak memandang remeh segala sesuatu dan tidak mempedulikan perasaan pasien yang sedikitnya ngerasa takut kelak ga akan punya anak dan lain sebagainya, hhh… c’est la vie.

Sampai akhirnya Juni 2016 dimana aku kali itu dipaksa untuk pergi ke dokter kandungan untuk bikin janji konsultasi dan aku baru dapet janji untuk berkonsultasi dengan beliau bulan Juli tanggal 29, lama sih emang tapi ternyata kadang menunggu itu salah satu jalan untuk mendapatkan pilihan yang terbaik. Dokter kandungan yang aku datangi kali ini sungguh baik, dia menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan dan ga sekali pun dia berkomentar yang meremehkan seperti contohnya ‘Lah, jangan terlalu khawatir, nikah aja belum’ seperti dokter kandungan yang kali itu aku kunjungi di Tasikmalaya. Dr. Cartagena menyarankan aku untuk melakukan laparoskopie karena dia bilang endometriosis hanya bisa dikatakan begitu bila sudah dilakukan laparoskopie selain itu semuanya masih belum bisa diputuskan dengan pasti. Tapi dokter Cartagena bilang, kalau aku memiliki bentuk rahim yang tidak normal, bentuknya ga bulat seperti telur melainkan seperti bentuk hati yang memiliki dua ‘horn‘. Apa akibatnya kalau orang memiliki bentuk rahim seperti ini, beliau menjawab bahwa disaat kehamilan akan ada resiko bayi lahir prematur atau bahkan mengalami beberapa kali keguguran. Astagfirullah, cobaan apalagi yang harus kami hadapi, tapi aku selalu bersyukur dan bersyukur bahwa Allah memberikan aku pasangan yang begitu peduli dan sayang sama aku, semoga kita bisa menjalani semua ini dengan sabar dan ikhlas, aamiin.

 

Ternyata aku (belum) hamil :(

Yaaaiiiiyyyyy, full satu minggu ga pergi ke kampus, ga satu minggu juga sih sebenernya orang kuliahnya cuma dari Senin sampai Kamis, cuma ga enaknya bolos kuliah kali ini karena emang ga begitu enak badan. Dari hari Sabtu minggu kemaren sampe hari ini bawaannya setiap hari itu mual-mual, rasanya kepengen muntah dan badan kerasanya itu lemes banget padahal kondisi badan ok ok aja rasanya. Bentar-bentar diem, gerak dikit ngos-ngosan, terus ketiduran, kerjaan rumah bener-bener ga selesai, sampai-sampai suami ikutan turun tangan, tumpukan piring kotor di wastafel tahu-tahu udah kesusun rapi di rak piring, karpet di ruang tengah udah balik ke tempat semula alias kembali digelar di atas lantai setelah seminggu lebih nangkring di pojokan ruangan, digulung, karena takut kena kotor tukang yang dateng; ‘mayat-mayat’ serangga kecil yang berjatuhan di deket jendela juga udah ilang, makasih banyak suami :*

Suami udah keukeuh aja ngajakin periksa ke dokter, cuma kalau periksa ke dokter nanti aku ditanya sama dokter gimana hasilnya tes lab dari Urologe dan Gynäkolog, aku kan sampai hari ini masih juga belum pergi kesana karena males dan waktunya ga pas terus, mana disini jarang banget ada dokter yang langsung nerima pasien untuk konsultasi, apa-apa harus bikin appointment dulu, ga praktis banget ya 😦

Ga tau dapet ide darimana tiba-tiba suami bilang “Yang, jangan-jangan kamu hamil ya?”. WHAT???? HAMIIILLLLL???? Masa sih hamil? Dengan sigap, suami langsung meraih handphonenya yang saat itu diletakkan di atas bantal. Dia langsung memasukan kata kunci “ciri-ciri kehamilan” di search engine dan suamiku pun dengan serius mulai membaca artikel tersebut satu demi satu. “Iya Yang, kayaknya kamu hamil, semua ciri-cirinya disini persis sama kayak keluhan kamu”. Antara bingung dan senang, semuanya campur aduk, “Kok bisa aku hamil?” karena kemungkinan bagiku untuk hamil saat ini itu 0,01 %. Ya, 0,01 % karena aku sudah mulai minum Babypille atau pil KB yang diresepkan oleh dokter dari seminggu sebelum kami menikah dan aku selalu meminum pil tersebut setiap hari tanpa terlewat, ya walaupun aku minum di jam yang berbeda tapi kemungkinan untuk hamil tetap kecil. Untuk menjawab rasa penasaran kami akhirnya diputuskan untuk membeli test pack lewat internet, soalnya kalau beli di toko harganya mahal untuk ukuran kantong kami, 8 € untuk satu strip dan hanya bisa dipakai untuk satu kali tes, lebih baik kami pakai uangnya untuk beli daging steak, itu juga harganya cuma 6 €.

Besoknya pesananku datang dan aku langsung tes urine dan seperti dugaanku, hasilnya ternyata memang negative. Antara senang dan sedih perasaanku saat itu, senang karena aku ga hamil yang artinya aku masih bisa tetap kuliah dan kerja selama satu tahun kedepan, tapi disisi lain aku juga ngerasa sedih karena aku jadi ga tahu apa sebenernya aku bisa hamil atau nggak. Tahun 2010 aku divonis oleh salah satu dokter di Bandung kalau aku mengidap suatu penyakit bernama endometriosis yang katanya penyakit ini tuh salah satu penyebab perempuan di dunia kesulitan untuk memiliki keturunan. Para perempuan tersebut baru mengetahui mereka mengidap endometriosis setelah mereka berkali-kali berusaha untuk punya anak tapi selalu tidak berhasil. Syukurlah Tuhan maha baik, aku diberi tahu kalau aku mengidap penyakit ini jauh sebelum aku merencanakan untuk mempunyai anak, bahkan saat itu untuk menikah saja aku belum kepikiran. Syukurlah aku dipertemukan dengan suami yang sangat supportive dan menerima aku apa adanya, suami dan keluarganya sudah tahu dari awal kalau aku mengidap penyakit tersebut. Suami selalu bilang “Aku seneng kita punya anak, tapi kalau ga juga gapapa, kita bisa terus pacaran kayak sekarang. Kalau kamu kesepian, nanti kita ajak orang tua kita untuk tinggal disini”, selalu terharu setiap kali denger suami ngucapin kalimat-kalimat seperti ini, alhamdulillah banget Allah SWT ngirim dia dan bukan yang lain untuk jadi suami aku. Bismillah, semoga kami selalu diberi yang terbaik oleh Allah SWT, aamiin.